Hukum Membunuh untuk Membela Diri

Senin, 03 Desember 2012

Pertanyaan : Bagaimana pandangan Islam tentang membunuh untuk membela diri, misal dalam kasus membela diri ketika dirampok? Jawaban : Maraknya pencurian dan perampokan di minimarket belum juga berhenti. Di antara pelakunya adalah oknum TNI. Dwi Widarto, seorang anggota TNI Angkatan Laut (AL) yang bertugas di KRI Suharso 990, tewas mengenaskan setelah sebutir peluru menembus pelipisnya. Timah panas itu melesat dari senjata api yang sedang digenggam korban¸ saat duel dengan salah seorang kasir sebuah minimarket Indomaret Jalan Laban, Kecamatan Menganti, Gresik, Minggu (28/10) malam. Dan ternyata, pelaku berpangkat Sersan Dua (Serda) ini juga terlibat aksi perampokan di sejumlah tempat lainnya di Surabaya. Di antaranya, perampokan Indomaret Balongsari, Alfamidi Benowo, SPBU Ngesong dan perampasan pistol polisi di Margomulyo (SurabayaPagi.com, edisi 30 Oktober 2012). Dalam Islam pencurian dan pembunuhan keduanya merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri dan qisash(hukum mati) bagi seorang pembunuh. Bedanya, pencurian merupakan hudud, sehingga setelah kasus itu di ajukan kepengadilan tidak seorang pun yang bisa memberikan pemaafan (pembatalan hukuman), walau pun diberikan oleh korban itu sendiri . Sementara pembunuhan merupakan jinayat, dimana syariat memberikan hak pemaafan kepada sang korban, agar tidak diterapkan qishas kepada pembunuh, namun cukup diganti dengan membayar diyat. Dengan pelaksanaan hukum syariat di atas, niscaya tindakan-tindakan kriminal bisa diminimalisasi bahkan dihilangkan. Sebab sanksi dalam Islam, selain dapat menggugurkan atau menebus dosa pelaku dari siksa di akhirat (al-jabru), sanksi itu pun dengan ketegasannya akan mampu memberikan efek jera (al-jazru) bagi masyarakat, khususnya mereka yang berniat melakukan kejahatan serupa. Namun, pelaksanaan hukum di atas tidak bisa dilepaskan dari ketentuan-ketentuan pelaksanaanya (al-ahkam al-wadh’iyyah al-muta’alliqah bih) seperti: syarat, sebab, mani’ (pencegah), ada atau tidak adanya rukhsoh (keringanan), dll. Sebagai contoh, pembunuhan yang dilakukan seorang kasir di dalam kasus di atas baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan kehormatan dari seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini. Hukum dan Tahapan Pembelaan Terhadap Diri, Harta dan Kehormatan Orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan. Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar, atau teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan. Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi yang di contohkan di atas, dimana pelaku sudah menghunus senjata tajam atau mengacungkan pistol misalnya, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597). Sebagaimana bila ia dapat menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri atau berlindung kepada orang lain, maka dalam kondisi seperti ini ia tidak boleh secara sengaja membunuh pelaku. Ini adalah pandangan madzhab as-Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Dengan kata lain hendaknya korban melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah, sesuai kondisi yang dihadapinya, (Lihat: al-Badai’: 7/93, mughnil muhtaj: 4/1966-197, bidayatul Mujtahid, 2/319, al-Mughni: 329-331, ). Dalil masalah ini adalah firman Allah Swt: فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع المتقين “Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194) Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh. Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda: من قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة) “Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah) Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang pelaku. Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda : انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره (رواه البخاري وأحمد والترمذي) “Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi). Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda: من أذل عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم القيامة (رواه أحمد) ”Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia” (HR. Ahmad) Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja’iz), maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya. Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha (al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw: كن خير ابني آدم (رواه أبو داود) “jadilah sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu Daud). Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa membela diri sendiri, sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur yang lain berpegang pada firman Allah Swt: {ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة} “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195) Dan firman Allah Swt: {فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله } “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, (QS. 49:9) ‘Alakullihal, melakukan pembelaan atas keselamatan diri dari pelaku kejahatan bukanlah perkara yang dilarang, meski ada perbedaan pendapat apakah hukumnya wajib atau sekedar boleh. Begitupun melakukan pembelaan atas harta hukumnya mubah menurut pandangan jumhur fuqaha (tidak wajib), meski pembelan itu harus dilakukan dengan cara membunuh pelaku, dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari cara yang lebih ringan dan mudah. Adapun pembelaan atas kehormatan, yakni kehormatan perempuan-perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa hukumnya wajib, baik menyangkut kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab pembiaran atas terenggutnya kehormatan seroang muslim merupakan perkara haram, (Lihat: (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/600-608). Tidak Ada Sanksi Para fuqha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan, maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan di atas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda Rasulullah Saw: من شهر سيفه ثم وضعه فدمه هدر (رواه الإمام الحاكم) ”siapa saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal darahnya (HR. al-hakim) Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq (komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadis ini shohih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadis ini dalam kitab shahihnya. Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya, Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. lalu bertanya: يا رسول الله ، أرأيت إن جاء رجل يريد أخذ مالي؟ قال: فلا تعطه مالك، قال: أرأيت إن قاتلني؟ قال: قاتله، قال: أرأيت إن قتلني؟ قال: فأنت شهيد، قال: أرأيت إن قتلتُه؟ قال: هو في النار (رواه مسلم) “Wahai Rasulullah: “bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab: “jangan kau berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana jika ia menyerangku”.?. Beliau menjawab: “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku.?”. Beliau menjawab: “kamu syahid”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab: “Dia masuk neraka” (HR. Muslim). Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah Saw. menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam perkara yang mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan. Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada qishash atau pun diyat baginya, (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332). Namun, pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia terkenal di tengah-tengah masyarakat sebagai penjahat dan pelaku kriminal. Wallahu a’lam bi as-showab.

0 komentar:

Posting Komentar